Senin, 19 November 2012
6 Juni dan Kisah Kelahiran Bung Karno
10.09
No comments
Soekemi
Sosrodihardjo seorang guru muda dari Surabaya yang ditugaskan untuk
mengajar di Sekolah Rakyat (setingkat SD) di Bali, tepatnya di Banjar
Paketan-Liligundi-Buleleng, Singaradja Bali. Setelah mengajar Sukemi
senang sekali berjalan-jalan mengelilingi desa dan melihat kehidupan
sosial masyarakatnya. Bahkan Soekemi sering mencatat bagaimana rakyat
desa bergerak.
Catatan : Nama Ibunda Sukarno adalah Ni Nyoman Srimben, pada tahun 1954 sebagai Presiden RI, Sukarno menghadiahkan nama Ida Ayu atau Idayu kepada Ibunda-nya dengan disaksikan banyak pejabat RI dan dari negara sahabat, sebuah penghargaan terbesar dari seorang anak kepada ibunya.
Satu
hal yang diperhatikan Soekemi adalah budaya dari banjar Bali yang amat
marak itu, sebuah kegiatan sakral dan penuh harmoni. Tiap ada
upacara-upacara suci di Pura Bali sendiri ada tarian sakral bernama Tari
Rejang. Tarian ini ditarikan
khusus perempuan dengan gerakan amat halus, tarian ini bisa amat
indahnya bila dilatari bulan purnama dan malam bersih penuh bintang,
sehingga penontonnya bisa menjadi amat tenang, khidmat dan penuh syukur
pada Tuhan.
Suatu
saat Soekemi menonton bersama temannya yang seorang guru juga dari
Jawa, tarian ini. Ia terpesona dengan dua orang perempuan cantik, tapi
ia tak tau siapa namanya kedua perempuan itu. Namun kemudian ada
kesempatan dimana Soekemi melempar bunga, dan lemparan bunga itu
mengenai seorang penari cantik dengan mata bulat bulan ‘Ni Nyoman
Srimben’. Ia penari yang amat cantik dengan bibir yang tebal manis, dan
alis mata yang amat hitam, tersenyum pada Soekemi, saat itulah cinta
pertama jatuh pada dua hati anak manusia.
“Perkenalan
adalah takdir, menjadi teman adalah pilihan dan mencintai seseorang
kerap diluar kendali dari diri seorang yang sedang jatuh cinta” Soekemi sudah jatuh cinta, ia telah memilih dan ia sanggup menghadapi resikonya apa saja.
Rupanya
Ni Nyoman Srimben juga jatuh hati pada pemuda dari Jawa ini, -“Ia
seorang guru ayah” kata Nyoman Srimben kepada ayahnya I Nyoman Pasek
ketika menghaturkan cerita tentang pemuda pilihan hatinya. I Nyoman
Pasek tentunya menolak “dia berbeda agama dengan kita” Soekemi sendiri
beragama Islam, dan Nyoman Pasek menghendaki Srimben menikah saja dengan
pemuda dari banjar-nya sendiri ketimbang pemuda yang berasal dari Jawa,
dari tempat yang jauh.
Tapi
cinta telah mengikat dua perasaan ini, cinta telah menjadikan dua
cerita antara Soekemi dan Srimben sebagai naluri aksara puisi, Soekemi
melihat dua mata Srimben, ada getaran, bukan saja ia melihat masa depan
dirinya sendiri, tapi masa depan yang lebih besar, ‘namun ia tak
mengerti’. Srimben sendiri melihat Soekemi juga dengan perasaan sama,
ada perasaan pertanggungjawaban bahwa cinta ini harus diteruskan,
-apapun resikonya-.
Lalu
Soekemi bertanya pada Srimben “Apakah kau mencintaiku” lalu Srimben
diam lama dia melihat sawah luas membentang hijau di desanya, udara
langit putih bersih dan daun-daun pohon kamboja mengayun lembut.
–Srimben mengangguk penuh arti-. Akhirnya Soekemi berani melamar menikah
pada ayah Srimben, Bapak Nyoman Pasek. Namun Nyoman Pasek secara halus
menolak.
Akhirnya dipilih suatu sikap yang berani, yaitu : Ngarorod
atau Kawin Lari. Di Tengah Malam Soekemi membawa lari Srimben, lalu
dikejar-kejar penduduk desa dan Soekemi berlindung di tempat seorang
Polisi. Penyelesaiannya adalah ke Pengadilan, di Pengadilan tampaknya
cinta dua anak manusia ini tak bisa dipisahkan, akhirnya semua orang
yang menyaksikan rela dengan ikhlas menyatukan dua perbedaan ini karena
keberanian dan pertanggungjawaban Soekemi serta Srimben dalam
menjalankan cintanya, Soekemi hanya dimintai denda atas tindakannya
melakukan Ngarorod, dan keluarga Srimben menyetujui Soekemi menikah dengan Ni Nyoman Srimben.
Pernikahan
ini berlangsung damai, tiba-tiba datang surat dari penilik sekolah yang
mengabarkan bahwa Soekemi harus pindah ke Blitar dan bertugas disana.
Ni Nyoman Srimben ikut Soekemi, dengan menumpang perahu layar mereka
mengarungi selat Bali menuju Jawa, tampak dari kejauhan pulau Jawa
berkabut, keindahan pulau Jawa dengan ratusan nyiur di pantai membuat
Srimben merasa bergetar, ada suara lembut menyapa kalbunya ‘Disinilah
masa depanmu bermula’.
Di
Blitar, Soekemi dan Srimben hidup amat sederhana, seperti layaknya
penduduk Jawa yang lain, hidup dalam suasana keprihatinan suasana orang
yang dijajah, tiap pagi Srimben harus menumbuk padi, menjaga tumbukannya
tidak dimakan ayam, ia mencuci dan segala bentuk kegiatan lainnya, ia
mencintai suaminya dengan amat sangat yang tiap hari dengan sepeda warna
hitam itu pergi ke sekolah mengajar. Di tahun pertama pernikahannya,
lahirlah seorang anak perempuan dan diberikan nama sebagai Soekarmini.
Gembiralah rumah kecil pak guru itu dengan hadirnya anak perempuan yang
lucu.
Suatu
siang Srimben bermimpi tentang bulan purnama terang sekali, ia bermimpi
berjalan di ruang yang bergolak, kemudian melanjutkan ke ruang yang
tenang. Ia berdoa semoga mimpinya ini berjalan ke arah kebaikan, tak
lama setelah mimpinya ini ada, ia hamil. Di tengah kehamilannya ini ia
kerap bermimpi tentang sinar matahari berwarna kuning muda bangkit dari
balik cakrawala, dan entah kenapa Srimben sangat menyukai warna pagi
matahari. Soekemi senang bukan kepalang, melihat isterinya hamil lagi.
Ia mengelus-elus perut isterinya dan membacai surat al fatihah, ia
berharap anak ini akan menjadi berguna bagi keluarga dan bangsanya. Anak
ini akan dipenuhi oleh rasa cinta, dipenuhi keberanian dalam menghadapi
kehidupan dan ketabahan dalam penderitaan untuk mencapai tujuan. Anak
ini harus menjadi seorang yang kuat, begitu harapan Soekemi.
Lalu
tanggal 6 Juni 1901, jam 6 pagi meledaklah suara tangis bayi, Soekemi
berdiri dari tempat duduknya, ia mendatangi dukun bayi yang membantu
proses kelahiran…”Anakmu laki-laki, Pak Guru…laki-laki” kata dukun bayi
itu dengan wajah senang seraya memberi selamat dan Soekemi dengan dada
berdegup kencang berlari ke sudut rumah lalu mengucapkan syukur.
Malamnya
Soekemi menuliskan surat kepada keluarga isterinya di Buleleng dengan
kata-kata singkat : “Anakku telah lahir, anak kedua, dia laki-laki dan
kuberikan nama Koesno. Semoga ini menjadi awal yang baik dari semuanya”.
Tulis Soekemi di tengah pelita yang redup.
Bayi
itu sehat, gemuk dan pipinya merah. Bayi ini sangat tampan. Bahkan
beberapa kerabat Soekemi yang mengunjungi terpesona dengan ketampanan
bayi ini. Satu hal yang sangat disenangi Srimben dalam merawat bayi ini
adalah menghadapkannya ke timur matahari, dengan cahaya matahari yang
merekah, wajah tampan bayi merah ini tertimpa alur-alur cahaya pagi lalu
Srimben berucap “ Lihatlah anakku, lihatlah sang Fajar bangkit dari
peraduannya, kau lahir ketika sang fajar bangkit dan menerangi dunia,
kau lahir bukan saja membawa hari baru, tapi sebuah jaman baru…..”
Kelak
di kemudian hari ucapan Srimben ini semacam profetik (ramalan) yang
dinisbahkan pada diri anak ini, seorang anak yang kemudian sakit-sakitan
dan diganti nama menjadi SUKARNO.
Sukarno
kecil tumbuh dengan gembira, ia suka berenang-renang dikali, memancing
dan bermain gasing. Ia tak mau kalah dalam permainan “Bagi Sukarno, ia
tak boleh dikalahkan” kenang Sukarno kelak dalam buku otobiografinya
yang ditulis Cindy Adams.
Karena
kemiskinan Sukarno kerap hidup kekurangan, ia harus menumbuk beras
sendiri, ia berjalan kaki ke sekolah tanpa sepatu. Yang paling sedih
diingat Sukarno adalah ketika hari menjelang lebaran, banyak anak-anak
bermain petasan, ledakan petasan dimana-mana, ia ingin membakar petasan,
ia iri teman lainnya bisa membeli dan membakar petasan menyambut malam
takbiran. Sukarno ingin merayakan menjelang lebaran dengan petasan “aku
ingin petasan…ingin sekali” tapi Sukarno kecil tau, ayahnya tak punya
uang, ia tak tega meminta pada bapaknya. Kemudian yang ia lakukan adalah
menangis di kamar, ia melingkari wajahnya dengan bantal yang penuh air
mata, ia ingin petasan. ‘keinginan anak-anak yang lumrah’. Tak
lama ketika Sukarno menangis, datanglah seseorang teman ayahnya
mengetuk pintu dan memberikan sebungkus petasan pada Soekemi “ini untuk
anakmu” lalu Soekemi memanggil Sukarno dan memberikan sebungkus petasan
itu “Ini untuk kamu, hati-hati mainnya” Bukan main gembira hati Sukarno,
kenangan ini ia tak bisa lupakan seumur hidupnya, ia juga sadar
‘tangisan yang tulus adalah doa yang didengar Tuhan”. Dan memang
sepanjang hidupnya Sukarno kerap menangis diam-diam untuk bangsanya.
Sukarno
dibawa ayahnya ke rumah indekost HOS Tjokroaminoto di Jalan Plampitan,
Surabaya.. saat itu Sukarno diterima di HBS Surabaya, Pak Tjokro adalah
kawan dekat ayah Sukarno, “Jagalah baik-baik anakku” kata Soekemi, Pak Tjokro dengan kumis yang tegas itu memegang pundak Sukarno “Nah, kau sekarang di HBS, kau harus bertanggung jawab bukan saja pada hidupmu, tapi juga bangsamu”
nasihat Pak Tjokro dengan mata tajam dan wajah yang teduh. Sukarno
mengangguk pelan, lalu ia diantarkan ke kamarnya yang gelap, kecil dan
agak kotor, -karena kamar yang lain sudah penuh-. Tapi Sukarno menerima
dengan gembira, ia memang punya watak selalu senang dalam keadaan
apapun. Bagi Sukarno ‘mengeluh adalah tanda kelemahan jiwa,
bergembiralah di tiap hidupmu, seberat apapun
masalahmu…gembiralah…gembiralah” itu prinsip Sukarno dalam menjalani
kehidupan.
Banyak
kawan-kawan yang mengenang Sukarno adalah seorang pelajar yang cerdas,
pembaca buku, pintar menggambar – salah satu yang paling diingat adalah
ketika di kelas sedang ada pelajaran menggambar bebas, Sukarno muda
menggambar anjing dan kandangnya, gambar anjing itu amat hidup dan
membuat guru Belandanya terperangah, ia memamerkan gambar Sukarno- tapi
nilai gambar itu tetap tidak boleh tinggi dari gambar anak Belanda,
diam-diam Sukarno mulai tau bahwa bangsanya terjajah.
Sukarno
cepat bila mengerjakan PR, setelah selesai mengerjakan PR ia mengusili
kawan kost yang lain, hingga kalau malam banyak kamar ditutup pintunya
‘untuk menghindari gangguan Sukarno’. Akhirnya Sukarno iseng-iseng
pidato sendirian di kamar, ia meniru seorang dalang dan meniru Pak
Tjokro yang sedang berpidato. Bila Sukarno kecil berpidato ia bergerak
seakan-akan seorang aktor yang bisa menggenggam dunia,
“Kebebasan…Kebebasan..dan Kebebasan” teriak Sukarno meniru Danton tokoh
revolusi Perancis dalam khayalannya itu. Lalu anak-anak melongok keluar
jendela kamar dan dengan malas-malasan kembali lagi ke meja belajarnya
sambil mengomel “Ah, Paling itu Si No…ingin menguasai dunia” kata
mereka.
Dan
memang Sukarno kelak menguasai dunia, dibawah pesonanya banyak
negara-negara terinspirasi untuk merdeka, dibawah jalan hidupnya
kemerdekaan Indonesia direbut, bangsa Indonesia memiliki martabatnya,
merebut kehormatannya dan berdiri sebagai bangsa besar di dunia. Dan Sukarno-lah alasan terbesar bangsa ini berdiri-.
oleh:(Anton DH Nugrahanto)
oleh:(Anton DH Nugrahanto)
Catatan : Nama Ibunda Sukarno adalah Ni Nyoman Srimben, pada tahun 1954 sebagai Presiden RI, Sukarno menghadiahkan nama Ida Ayu atau Idayu kepada Ibunda-nya dengan disaksikan banyak pejabat RI dan dari negara sahabat, sebuah penghargaan terbesar dari seorang anak kepada ibunya.
0 200 komentar:
Posting Komentar